Pengikut

Mengenai Saya

kelompok 1.erli iriyanto 2.akhmad mukhlas 3.m.burhanuddin 4.mu'amar f.a.

Selasa, 20 April 2010

Tugas Makalah pengolahan citra



KOMPRESI VIDEO



Anggota kelompok :

1. M. Burhanuddin (2009-51-054)

2. Mu’amar F. Azhim (2009-51-095)

3. Erli Iriyanto (2009-51-068)

4. Akhmad Mukhlas (2009-51-070)



UNIVERSITAS MURIA KUDUS

TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

2010





KOMPRESI VIDEO

1. Pendahuluan

Dewasa ini teknologi video begitu dekat penggunaannya dalam kehidupan manusia. Lebih dari sekedar image, video adalah image bergerak yang menampilkan aspek yang tidak terdapat pada image.

Video digital secara luas digunakan dalam berbagai aplikasi, tidak hanya untuk keperluan hiburan, tetapi juga bisnis, kesehatan, komunikasi, kesehatan, pendidikan, dll.

Contoh konkritnya dalam bidang kesehatan, video digital mengambil peranan akuisisi data biomedis, hingga telemedicine. Bidang pendidikan, information access, interactive teaching, distance learning, laboratorium virtual, perpustakaan elektronik. Bidang hiburan, VCD (Video Compact Disc) dan DVD (Digital Versatile Disc). Teknologi video juga berperan dalam penjualan barang, sehingga konsumen dapat melihat detil produk yang akan dibeli, daripada hanya melihat gambar diam saja. Dalam bidang komunikasi, keinginan untuk melangsungkan komunikasi dua arah secara visual (ada wujud dan suara lawan komunikasi), sehingga dimungkinkannya komunikasi multimedia seperti videophone, teleconference.


2. Masalah

Video dalam pemakaiannya di setiap bidang tersebut menggunakan bit yang besar. Untuk menyimpan data video diperlukan kapasitas yang besar serta dalam transmisinya diperlukan laju bit (bit rate ) yang besar juga. Jawaban atas masalah tersebut yaitu, memperlebar jalur arus informasi, sehingga data dapat ditransfer lebih banyak. Namun, dapat juga diatasi dengan melakukan kompresi atau pemampatan data yang hendak ditransmisi, jadi transmisi dapat dilakukan pada laju bit yang rendah.


3. Multimedia (Video)

3.1. Karakteristik Video Digital

Video digital pada dasarnya tersusun atas serangkaian frame yang ditampilkan dengan kecepatan tertentu (frame / detik). Jika laju frame cukup tinggi, maka mata manusia melihatnya sebagai rangkaian yang kontinu.

Setiap frame merupakan gambar/ citra digital. Suatu citra digital direpresentasikan dengan sebuah matriks yang masing-masing elemennya merepresentasikan nilai intensitas.

Karakteristik-karakteristik yang akan menentukan kualitas suatu video:

1. Resolusi/ dimensi frame

Merupakan ukuran sebuah frame, resolusi dinyatakan dalam pixel x pixel. Semakin tinggi resolusi maka semakin baik tampilan video tersebut. Namun, resolusi yang semakin tinggi membuat bit yang besar juga.

2. Kedalaman bit

Menetukan jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan tiap piksel pada sebuah frame, efeknya terlihat langsung pada kualitas video. Sama seperti resolusi, semakin besar kedalaman bit yang dipakai, semakin besar juga bit yang diperlukan.

3. Laju frame

Karakteristik ini berkaitan dengan kehalusan gerakan (smooth motion) dan kilatan (flash). Contohnya, untuk mendapatkan gerakan yang halus diperlukan setidaknya 25 frame/ detik. Kilatan merupakan jumlah layer ditampilkan per detik, misalnya dengan 20 frame per detik, kilatan sudah dapat dilenyapkan.


3.2. Representasi warna

Pada video digital, umumnya data video dipisahkan menjadi komponen-komponen kecerahan maupun warna, yang dapat di kelompokkan:

1. RGB (red, green, blue)

Warna tiap piksel ditentukan oleh kombinasi intensitas dari masing-masing komponen warna. Misalnya pada RGB 24 bit, masing-masing komponen warna dinyatakan dalam 8 bit atau 256 level. Misalnya untuk warna biru langit direpresentasikan dengan R=180, G=189, B=249.

2. YUV

Pemisahan ini menurut komponen kecerahan (luminance) dan komponen warna (chrominance). Contohnya digunakan pada format PAL. Sinyal kecerahan dinyatakan dengan Y, sedangkan dua sinyal warna dinyatakan dengan U dan V.

Y=0,299R + 0,587G + 0,114B

U=(B-Y) x 0,493

V=(R-Y) x 0,877

3. YIQ

Merupakan pemisahan komponen kecerahan (Y), dan komponen warna (I dan Q) pada format NTSC.

Y=0,299R + 0,587G + 0,114B

I =0,596R – 0,275G – 0,321B

Q =0,212R – 0,523G – 0,311B


4. Kompresi

Jumlah bit yang diperlukan video digital untuk penyimpanan maupun transmisi dapat dihitung sebagai berikut: format AVI dengan resolusi 320x240 pixels untuk komponen kecerahan dan separuhnya untuk dua komponen warnanya. Kedalaman pikselnya adalah 8 bit/piksel dan laju framenya 30 frame. Detik. Maka jumlah bit yang dibutuhkan, yaitu 320 x 240 pixels x 8 bit/piksel x 30 frame/detik = 18.432.000 bit/s (18 Mbps), jumlah bit ini bukanlah jumlah bit yang kecil. Tidak mungkin menyalurkan format ini ke dalam saluran bit rate rendah, misalnya 64 Kbps.

Kompresi dapat dilakukan dengan memanfaatkan Redundansi yang terdapat pada data video, baik Redundansi spasial maupun temporal:

1. Redundansi spasial

Redundansi yang terdapat dalam suatu frame. Hal ini disebabkan oleh adanya korelasi antara sebuah piksel dengan piksel di sekitarnya. Redundansi ini dimanfaatkan untuk melakukan kompresi intraframe.

2. Redundansi temporal

Redundansi yang terdapat diantara frame dengan frame sebelum atau sesudahnya. Hal ini disebabkan adanya piksel-piksel yang berkorelasi di antara frame-frame tersebut. Redundansi ini terutama dikarenakan banyak bagian frame yang tidak berubah dibanding frame sebelum dan sesudahnya.

Berdasarkan dua jenis redundansi tersebut, kompresi pada data video dapat dibagi menjadi dua:

1. Kompresi intraframe

Dilakukan dengan memanfaatkan redundansi spasial yang terdapat dalam suatu frame. Beberapa metode dalam kompresi ini antara lain:

a. Subsampling

Merupakan dasar dari kebanyakan kompresi image dan sebanding dengan membuang data, kompresi dilakukan dengan mengurangi jumlah piksel yang digunakan untuk merepresentasikan suatu image. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah resolusi.

b.Pengurangan kedalaman bit

Disebut juga coarse quantization. Metode ini mengurangi jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan suatu piksel.

c. Transform Coding

Mentransformasikan data dari domain ruang ke domain frekuensi. Cara ini menghasilkan data yang mudah diproses untuk kompresi lebih lanjut. Contohnya DCT (Discrete Cosine Transform).

2. Kompresi interframe

Dilakukan dengan memanfaatkan redundansi temporal. Metode dalam kompresi ini antara lain:

a. Subsampling

Mengurangi laju frame dalam data video, yaitu mentransmisikan frame tertentu, misalnya tiap dua frame.

b. Difference Coding

Membagi frame menjadi blok-blok yang tidak tumpang tindih. Hanya blok yang mengalami perubahan signifikan saja yang disimpan.

c. Motion Compensation

Membagi frame menjadi blok-blok yang tidak tumpang tindih. Setelah itu dilakukan proses pencocokan blok. Tiap blok pada frame tersebut dibandingkan dengan blok-blok berukuran sama pada frame sebelumnya, perbedaan lokasi antara blok tersebut dengan blok yang mirip pada frame sebelumnya disebut vektor gerak/ motion vector. Hanya vektor gerak saja yang disimpan.


5. Integrasi Sistem

Video digital merupakan rangkaian frame. Untuk melakukan kompresi pada data video, maka dilakukan kompresi pada masing-masing frame tersebut. Sebelum kompresi dilakukan pada suatu frame, harus ditentukan terlebih dahulu apakah diterapkan kompresi interframe atau intraframe, setelah frame referensi ditentukan (intraframe)

Frame yang dikompresi dengan metode intraframe disebut frame I. Frame yang dikompresi dengan interframe disebut frame P. Perbandingan banyak frame I dan frame P dalam sebuah grup frame yaitu sebuah frame I dan n buah frame P.

Kompresi dilakukan dengan menetapkan frame referensi dahulu, yaitu frame pertama harus dilakukan kompresi intraframe/ menetapkan frame pertama sebagai frame I, bukan kompresi interframe (karena prediksi tidak dapat dilakukan bila tidak ada frame sebelumnya sebagai referensi). Untuk kompresi selanjutnya, kompresi dapat dilakukan dengan metode intarframe atau interframe.

Kompresi interframe mempengaruhi kualitas hasil kompresi. Semakin banyak kompresi interframe maka semakin tinggi rasio kompresi yang didapat, namun kualitas gambarnya menjadi menurun.

5.1.Alur sistem integrasi kompresi

1. Pada suatu kumpulan frame/ sebuah grup frame, frame pertama ditetapkan sebagai frame I, dilakukan kompresi intraframe. Proses yang dilakukan adalah DCT, selanjutnya kuantisasi, RLE, dilanjutkan VLC. Hasilnya disimpan.

2. Hasil kuantisasi tadi, di dekuantisasi dan dilakukan inverse DCT, kemudian ditulis pada frame referensi sebagai acuan melakukan prediksi pada proses berikutnya.

3. Frame berikutnya adalah frame P, dilakukan kompresi interframe. Prosesnya dilakukan matching block, mencocokan blok-blok pada frame tersebut dengan blok-blok pada frame referensi. Proses ini menghasilkan vector gerak (motion vector), yang selanjutnya disimpan sebagai hasil kompresi.

4. Proses no. 3 diulang sebanyak jumlah frame P yang ada dalam sebuah grup frame tersebut.

5.2.Alur Sistem Integrasi Dekompresi

Hasil kompresi harus dapat dikembalikan untuk mendapatkan data semula. Proses menguraikan hasil kompresi untuk mendapatkan data semula disebut dekompresi.

1. Frame I direkonstruksi dengan decoding, pembalikan proses VLC dan RLE, dekuantisasi, dan inverse DCT (IDCT). Proses ini dihasilkan sebuah frame yang selanjutnya digunakan sebagai referensi bagi proses dekompresi interframe (dengan frame P).

2. Frame P direkonstruksi dengan melakukan pembalikan proses pengkodean pada data, yang menghasilkan vektor gerak untuk tiap blok. Vektor gerak yang didapat disimpan dan digunakan untuk proses dekompresi selanjutnya.

3. Proses pada frame P berulangkali sebanyak jumlah frame P pada grup frame.

LAMPIRAN



Daftar Pustaka

Yonata, Yosi. Kompresi Video. 2001. Jakarta: P.T. Gramedia.

Minggu, 18 April 2010

IDENTIFIKASI MUTU FISIK JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN



Agus Supriatna Somantri, Miskiyah dan Wisnu Broto

Abstract

Physical quality factors are the main problems in the dried seed corn production. Determination of physical quality is usually carried out visually by the persons who have expertise related to their experiences. This method is exhaustive and imprecise since it is influenced by human fatigue. The objective of this research is to identify the physical quality of seed corn by using the digital image processing and artificial neural network (ANN). The image of seed corn was taken by using digital camera and processed by image processing program. ANN model was developed with 10 input parameters, 20 hidden layers and 4 targets. The fourth targets were whole seed, damaged seed, broken seed and mouldy seed. The accuracy of the model was 95%.

Keywords: Seed corn, physycal quality, image prodessing, artificial neural network


1. PENDAHULUAN

Produksi jagung di Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat, pada tahun 2006 mencapai sekitar 12 juta ton dan pada tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 13,6 juta ton. Jagung digunakan untuk bahan baku industri makanan, konsumsi langsung manusia dan terbesar untuk bahan baku industri pakan ternak. Kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak mencapai 5 juta ton/tahun dengan laju kenaikan sekitar 10 - 15% setiap tahunnya (Ditjen P2HP, 2008). Namun peningkatan produksi ini belum dibarengi oleh peningkatan mutunya, sehingga produksi jagung dari petani ditolak oleh pabrik pakan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan jagung dan juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap jagung impor adalah dengan penanganan pascapanen yang baik sehingga kehilangan hasil selama kegiatan pascapanen dapat ditekan. Menurut Purwadaria (1987), kegiatan pascapanen jagung meliputi pemanenan, pengangkutan, pengeringan, perontokan dan penyimpanan. Besarnya susut pada kegiatan pascapanen jagung (tidak termasuk pada kegiatan penyimpanan) bervariasi dari 1,2 – 5,2% susut tercecer dan 5 - 10 % susut mutu.
Permasalahan mutu pada biji-bijian khususnya jagung sampai saat ini masih menjadi persoalan penting. Tingginya tingkat kerusakan dan cemaran yang disebabkan oleh cara-cara penanganan yang kurang baik menyebabkan harga jagung jatuh di pasaran, bahkan ketika dihadapkan pada standar mutu yang sudah ditetapkan, jagung tersebut tidak dapat diterima oleh industri pakan. Kerusakan tertinggi biasanya terjadi saat perontokan dengan mesin dan jagung yang telah terkelupas kulitnya akan memudahkan jamur untuk tumbuh secara cepat terutama dari jenis Aspergillus yang berpotensi menghasilkan aflatoksin.
Selama ini evaluasi mutu dalam proses pemutuan jagung masih dilakukan secara manual melalui pengamatan visual. Evaluasi mutu dengan cara ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain membutuhkan waktu lama dan menghasilkan produk dengan mutu yang tidak konsisten karena keterbatasan visual manusia, kelelahan dan adanya perbedaan persepsi tentang mutu pada masing-masing pengamat. Pengolahan citra merupakan alternatif untuk mengatasi persoalan tersebut. Cara ini memiliki kemampuan yang lebih peka karena dilengkapi dengan sensor elektro-optika yang bisa dipastikan akan lebih tepat dan obyektif jika dibandingkan dengan cara visual manusia yang bersifat subyektif dan sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis pengamatnya (Gao and Tan, 1996). Teknik pengolahan citra bisa memberikan informasi yang baik jika digabungkan dengan sistem pengambilan keputusan yang bisa memberikan akurasi yang tinggi. Kusumadewi (2003), penggunaan Jaringan Syaraf Tiruan memungkinkan akan memberikan hasil optimal, karena memiliki kelebihan dalam menyelesaikan persoalan yang sifatnya non-linear.
Penelitian dan pengembangan pengolahan citra dan Jaringan Syaraf Tiruan untuk kepentingan identifikasi mutu fisik suatu komoditas sudah banyak dikembangkan, seperti untuk identifikasi tingkat kerusakan biji kopi (Sofi’i, dkk, 2005), pemutuan edamame (Sudibyo, dkk, 2006), pemutuan bunga potong (Ahmad, U. dkk, 2006) dan masih banyak lagi. Penelitian seperti ini merupakan dasar bagi penelitian dan pengembangan bidang sortasi tanpa menyentuh dan merusak objeknya.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan algoritma pengolahan citra untuk identifikasi mutu fisik jagung dengan menggunakan pengolahan citra digital dan Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi identifikasi mutu fisik jagung yang cepat tanpa harus merusak sampel biji jagung tersebut.

2. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan sejak bulan Pebruari sampai dengan bulan Juli 2008. Bahan yang digunakan adalah jagung P-11 yang diperoleh dari kebun petani di desa Mojopuro, kabupaten Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah. Jagung dipipil kemudian dikeringkan sampai kadar air 14% dan dipisahkan berdasarkan mutu fisiknya seperti biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur. Definisi untuk masing-masing kriteria mutu fisik tersebut seperti pada Tabel 1 di bawah ini.
Peralatan yang digunakan adalah kamera digital, kotak pengambilan citra, lampu PL 5 watt 4 buah, dan seperangkat komputer. Jarak kamera dengan objek adalah 15 cm.



Tabel 1 Definisi untuk Masing-Masing Kriteria Mutu Fisik Jagung






Gambar 1 Peralatan Pengolahan Citra Digital untuk Identifikasi Mutu Fisik Jagung


2.1 Pengolahan Citra
Pengolahan citra dimulai dengan proses thresholding, yaitu proses pemisahan citra berdasarkan batas nilai tertentu, dalam proses thresholding citra warna diubah menjadi citra biner. Tujuan proses thresholding adalah untuk membedakan objek dengan latar belakangnya. Setelah proses thresholding proses selanjutnya adalah proses penghitungan nilai-nilai parameter antara lain R, G, B, RGB rata-rata (color value), indeksR (Ired), indeksG (Igreen), indeksB (Iblue), hue (corak), saturation (kejenuhan) dan intensity (selanjutnya disingkat HSI) dari tiap-tiap pixel citra jagung, baik bagian biji utuh, bagian biji rusak, bagian biji patah maupun bagian biji berjamur.
a. Pengukuran Parameter RGB (Red, Green dan Blue)
Paramater RGB diperoleh dari tiap-tiap pixel warna pada citra biji jagung yang merupakan nilai intensitas untuk masing-masing warna merah, hijau, dan biru. Nilai rata-rata dari R,G dan B dijumlahkan untuk mendapatkan color value atau RGB rata-rata.
b. Pengukuran parameter Indeks R, Indeks G dan Indeks B
Perhitungan indeks warna merah/indeksR (Ired), indeks warna hijau/indeksG (Igreen), dan indeks warna biru/indeksB (Iblue) menggunakan rumus pada persamaan (1), (2), dan (3). Intensitas warna merah dibagi dengan penjumlahan dari nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru sehingga menghasilkan nilai parameter indeksR. Intensitas warna hijau dibagi dengan penjumlahan dari nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru sehingga menghasilkan nilai parameter indeksG. Intensitas warna biru dibagi dengan penjumlahan dari nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru sehingga menghasilkan nilai parameter indeksB. Perhitungan parameter Indeks R, G, dan B diperoleh dari tiap-tiap pixel pada citra kopi.
Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan rumus sebagai berikut (Ahmad, 2005; Arimurthy, dkk., 1992):
Indeks warna merah
Indeks warna hijau
Indeks warna biru
Dengan R, G, dan B masing-masing merupakan besaran yang menyatakan nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru.
c. Penghitungan Parameter Hue (Corak), Saturation (Kejenuhan) dan Intensity (Intensitas)
Nilai parameter HSI (Hue, Saturation, Intensity) dihitung dengan persamaan (4), (5), dan (6). Intensity dihitung dengan menjumlahkan nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru (RGB) setiap pixel dari citra sehingga diperoleh algoritma untuk citra abu-abu.



2.2 Penyusunan Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
Arsitektur jaringan syaraf tiruan yang dibangun terdiri dari tiga lapisan (layer), yaitu input layer, hidden layer, dan output layer. Sebagai masukan pada input layer adalah data parameter yang berasal dari pengolahan citra, jumlah noda pada input layer sebanyak 10 unit, yaitu berupa intensitas warna merah(R), hijau(G), biru(B), RGB rata-rata (Color Value), indeks warna merah(R), indeks warna hijau(H), indeks warna biru (B), dan HSI. Output layer terdiri dari 4 unit, yaitu, biji utuh, biji rusak, biji patah, dan biji berjamur. Sedangkan jumlah noda pada hidden layer adalah sebanyak (2*n)=20 noda.
Data-data parameter yang dihasilkan pada pengolahan citra merupakan input dalam jaringan jaringan syaraf tiruan. Algoritma yang digunakan dalam jaringan jaringan syaraf tiruan adalah algoritma backpropagation dengan laju pembelajaran (learning rate) 0.3 dan LogisticConst 0,5.
Menurut Rich dan Knight (1983), algoritma pelatihan backpropagation adalah sebagai berikut:
1. Inisialisasi
a. Normalisasi data input xi dan data target tk dalam range (0,1)
b. Seluruh pembobot (wij dan vjk) awal diberi nilai random antara -1,1
c. Inisialisasi aktivasi thresholding unit, x0 = 1 dan h0 = 1

2. Aktivasi unit-unit dari input layer ke hidden layer dengan fungsi :
dimana:
wij = pembobot w yang menghubungkan node unit ke-i pada input layer dengan noda ke-j pada hidden layer

3. Aktivasi unit-unit dari hidden layer ke output layer dengan fungsi:

dimana:
σ = konstanta logistik (logistic contant)
vjk = pembobot v yang menghubungkan node unit ke-j pada hidden layer dengan noda ke-k pada output layer

4. Menghitung error dari unit-unit pada output layer (δk) dan menyesuaikannya dengan bobot vjk

dimana:
tk = target output pada noda ke-k

dimana :
β = konstanta laju pembelajaran
vjk old = pembobot vjk sebelumnya

5. Menghitung error dari unit-unit pada hidden layer (τj) dan menyesuaikannya dengan bobot wij


6. Training set (learning) dihentikan jika yk mendekati tk. Proses pembelajaran juga dapat dihentikan berdasarkan error. Salah satu persamaan untuk nilai error adalah dengan menggunakan Root Mean Square Error (RMSE).



7. Pengulangan (iterasi)
Keseluruhan proses ini dilakukan pada setiap contoh dari setiap iterasi sampai sistem mencapai keadaaan optimum. Iterasi mencakup pemberian contoh pasangan input dan output, perhitungan nilai aktivasi dan perubahan nilai pembobot.

2.3 Validasi Model Jaringan Syaraf Tiruan
Validasi dilakukan sebagai proses pengujian kinerja jaringan terhadap contoh yang belum diberikan selama proses training. Kinerja jaringan dapat dinilai berdasarkan nilai RMSE (Root Mean Square Error) pada proses generalisasi terhadap contoh data input-output baru, nilai RMSE dapat dinotasikan sebagai:
RMSE
dimana:
p = nilai prediksi yang dihasilkan oleh jaringan
a = nilai target yang diberikan pada jaringan
n = jumlah contoh data pada set data validasi
Proses validasi dilakukan dengan memasukkan nilai data contoh set input-output yang diberikan selama proses training. Jika ANN telah berhasil selama proses pelatihan dan validasi maka sistem tersebut sudah dapat digunakan untuk aplikasi selanjutnya.
Urutan proses pengolahan citra dan Jaringan Syaraf Tiruan untuk identifikasi mutu fisik jagung seperti pada Gambar 2.




Gambar 2 Diagram Alir Prosedur Penelitian Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf Tiruan (JST)


3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Program Pengolahan Citra Digital
Penyusunan program pengolahan citra ini adalah untuk membangkitkan data-data numerik dari setiap jenis biji jagung, seperti biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur ditampilkan dalam bentuk program interaktif sehingga mudah untuk dioperasikan. Tampilan program tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.





Gambar 3 Tampilan Program Pengolahan Citra Digital untuk Mutu Fisik Jagung

Pada tampilan program tersebut dilengkapi dengan tombol-tombol seperti buka file, buka data, buka bobot, threshold, hitung parameter, hapus memory, refresh, simpan data dan validasi. Program ini bisa digunakan untuk membangkitkan data parameter citra, training dan validasi data. Ukuran image yang dapat diproses oleh program ini adalah 640 x 480 piksel dengan format JPEG.

3.2 Sifat Mutu Fisik Jagung Berdasarkan Hasil Pengolahan Citra

3.2.1 Karakteristik RGB pada mutu fisik biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur
Karakteristik RGB mutu fisik jagung untuk biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur seperti ditunjukkan pada Gambar 4, 5 dan 6. Rata-rata nilai warna merah untuk biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur masing-masing adalah 176.93, 160.44, 152.69 dan 156.58. Jika dilihat dari rata-ratanya yang tertinggi adalah biji utuh dan terendah adalah biji patah. Perbedaan ini lebih memudahkan program dalam membedakan jenis biji utuh dan patah berdasarkan warna merah.

3.2.2 Karakteristik HSI pada mutu fisik biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur
Karakteristik HSI biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur pada jagung kering pipilan seperti pada Gambar 7, 8 dan 9. Rata-rata sebaran nilai H (Hue) untuk biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur masing-masing adalah 8.13, 16.94, 29.65, dan 18.03. Dari sini terlihat bahwa rata-rata tertinggi terdapat pada biji patah dan terendah adalah biji utuh, sehingga perbedaan nilai hue ini akan memudahkan dalam proses training dalam membedakan biji patah dan biji utuh.
Sebaran nilai S (Saturation), rata-ratanya untuk biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur masing-masing adalah 0.56, 0.47, 0.51 dan 0.49. Nilai tertinggi didominasi oleh biji utuh dan terendah oleh biji rusak. Perbedaan ini lebih memudahkan program dalam membedakan jenis biji utuh dan biji rusak berdasarkan nilai saturation ini.
Sebaran warna I (Intensity), rata-ratanya untuk biji utuh, biji rusak, biji patah dan biji berjamur masing-masing adalah 128.48, 127.3, 119.9 dan 118.8. Nilai tertinggi didominasi oleh biji utuh dan terendah oleh biji berjamur, sehingga dimungkinkan bahwa kedua jenis biji ini lebih mudah dibedakan berdasarkan intenitasnya.










3.3 Pembelajaran (Training)
Data set training berjumlah 371, yang terdiri atas 105 biji utuh, 80 biji rusak, 81 biji patah dan 105 biji berjamur. Proses training dilakukan sampai dengan 40000 iterasi dan untuk setiap kenaikan 10000 iterasi dicatat akurasinya. Pada iterasi ke 40000 ini diperoleh nilai akurasi total yang maksimal yaitu 95%. Gambar 10 menunjukkan perkembangan nilai akurasi untuk setiap jenis biji jagung. Pada gambar tersebut, biji utuh menunjukkan nilai tertinggi yaitu 100%, hal ini menunjukkan bahwa biji utuh sangat mudah dikenali oleh program ini. Tingkat akurasi terendah dimiliki oleh biji patah yaitu 91%, hal ini dapat dipahami karena biji patah memiliki bentuk yang tidak beraturan sehingga semakin banyak sampel yang ditraining, maka program kurang peka dalam mengenali bentuk biji patah ini. Untuk nilai akurasi total ditunjukkan pada Gambar 11 dan Tabel 2.

Gambar 11 Nilai Akurasi Total untuk Setiap Iterasi

Tabel 2 Hasil Pendugaan Jenis Biji Jagung Pada Proses Training 40000 Iterasi



3.4 Validasi
Validasi dilakukan pada sampel jagung dari populasi yang berbeda dengan bahan untuk training. Jumlah sampel untuk validasi ini diambil secara acak sebanyak 293 biji, yang terdiri atas 112 biji utuh, 48 biji rusak, 63 biji patah dan 70.
Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa nilai akurasi tertinggi terdapat pada biji utuh dan biji berjamur yaitu 96%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis biji tersebut lebih mudah untuk dibedakan. Sementara itu untuk biji rusak dan biji patah nilai akurasinya masing-masing hanya 58% dan 49%, sangat jauh perbedaannya dengan saat training. Kedua jenis biji ini juga masih tinggi jumlah biji yang tidak dikenali. Hal ini menunjukkan bahwa program masih memerlukan training dengan jumlah sampel yang lebih banyak lagi untuk kedua jenis biji ini.
biji berjamur. Pendugaan dengan menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dilakukan setelah proses training mendapatkan nilai akurasi yang stabil. Hasil validasi ditunjukkan seperti pada Tabel 3.

3.5 Aplikasi
Bobot maksimal yang diperoleh dari hasil training digunakan sebagai pembobot pada sistem pemrograman untuk tujuan aplikasi, yaitu untuk pengujian sampel jagung secara acak. Tampilan sistem pemrograman pengolahan citra digital untuk keperluan identifikasi mutu fisik jagung tersebut seperti pada Gambar 12 di bawah ini.





Tabel 3 Hasil Pendugaan Jenis Biji Jagung Pada Proses Validasi




Gambar 12 Pengolah Citra Digital untuk Uji Mutu Fisik Jagung

Tabel 4 Persyaratan Mutu Jagung Berdasarkan SNI 01-3920-1995



Pada Gambar 12 di atas hanya membutuhkan input berupa image jagung berukuran 640 x 480 piksel dengan latar belakang gambar warna biru muda. Kemudian setelah image tersebut dipanggil, maka hanya dengan mengklik tombol proses segera program bekerja mengidentifikasi sampel yang diuji berdasarkan mutu fisiknya dan seketika itu juga dapat diketahui jumlah dan persentase biji jagung yang diuji. Mutu fisik yang dapat diidentifikasi melalui program ini yaitu biji utuh, biji rusak, biji patah (pecah), biji berjamur dan biji tak dikenali. Jika dilihat dari persyaratan mutu jagung (Tabel 4), maka sistem ini bisa menjawab persoalan pada butir 2 sampai dengan 5, dimana butir warna lain dan kotoran dapat dikategorikan ke dalam butir yang tidak dikenali Di masa depan dengan pengembangan sistem pemrograman pengolah citra ini, maka diharapkan akan menjadi salah satu pilihan yang dpat digunakan sebagai perangkat dalam pengujian mutu fisik jagung.


4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
• Program pengolahan citra telah mampu membangkitkan data-data numerik dari citra biji jagung berupa R, G, B, RGB rata-rata (color value), indeksR (Ired), indeksG (Igreen), indeksB (Iblue), hue (corak), saturation (kejenuhan) dan intensity. Yang merupakan input data pada artificial neural network.
• Nilai parameter R, G, B, RGB rata-rata (color value), indeksR (Ired), indeksG (Igreen), indeksB (Iblue), hue (corak), saturation (kejenuhan) dan intensity saling tumpang tindih antara satu karakteristik satu jenis biji jagung dengan jenis lainnya sehingga banyak menyebabkan ANN salah dalam menduga khususnya pada saat validasi.
• Model JST yang dikembangkan adalah 10 lapisan input, 20 hidden layer dan 4 output layer menghasilkan nilai akurasi pada proses training sebesar 95%, terdiri dari 100% biji utuh, 94% biji rusak, 91% biji patah dan 94% biji berjamur. Sedangkan pada proses validasi menghasilkan akurasi sebesar 80%, terdiri dari 96% biji utuh, 58% biji rusak, 49% biji patah dan 96% biji berjamur.
• Biji utuh lebih mudah dikenali dibanding dengan jenis biji jagung yang lain karena memiliki karakteristik nilai nilai parameter yang khas dibandingkan dengan jenis biji jagung yang lain.
• Banyaknya salah pendugaan pada biji rusak dan biji patah disebabkan kurangnya nilai – nilai input parameter yang yang menjadikan ciri khas biji tersebut.

4.2 Saran
• Perlu dilakukan training dengan menambah parameter input sehingga kekhasan dari setiap jenis biji ini akan lebih mudah dikenali oleh program JST.
• Perlu dilakukan training dengan menambah ragam sampel khususnya untuk biji rusak dan biji patah.







DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad, U., E. Syaefullah, H.K. Purwadaria. 2006. Evaluasi Mutu Bunga Potong Krisan Yellow Fiji Menggunakan Pengolahan Citra. Jurnal Keteknikan Pertanian, Perteta – Indonesia, Vol 20, No. 3, hal 243 – 252.
2. Ahmad, U . 2005. Pengolahan Citra Digital dan Teknik Pemrogramannya. Penerbit Graha Ilmu.
3. Arymurthy, A. M., dan Suryana, S. 1992. Pengantar Pengolahan Citra. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
4. Ditjen P2HP. 2008. Pedoman Teknis Manajemen Silo Jagung. Departemen Pertanian.
5. Gao, X. And J. Tan. 1996. Analysis of Expanded-Food Texture by Image Processing Part I: Geometric Properties. Journal of Food Process Engineering (19): 425 – 444.
6. Kusumadewi, S. 2003. Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Graha Ilmu. Yogyakarta.
7. Purwadaria, H.K. 2007. Teknologi Penanganan Pascapanen Jagung. Deptan-FAO, UNDP. Development and Utilization of Postharvest Tools and Equipment, INS/088/007.
8. Rich, E. and Knight, K. 1983. Artificial Intelligent. Second Edition. Mc Graw-Hill Inc. Singapore.
9. Sofi’i, I, I.W. Astika dan Suroso. 2005. Penentuan Jenis Cacat Biji Kopi dengan Pengolahan Citra dan Artificial Neural Network. Jurnal Keteknikan Pertanian, Perteta – Indonesia, Vol 19, No. 2, hal 99 – 108.
10. Soedibyo, D.W., I. D. M, Subrata, Suroso dan U. Ahmad. 2006. Pemutuan Edamame Menggunakan Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal Keteknikan Pertanian, Perteta – Indonesia, Vol 20, No. 3, hal 243 – 252.
s


BIODATA

Ir. Agus Supriatna Somantri
Dilahirkan di Sukabumi, 3 Juli 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1987. Penulis adalah Peneliti Madya bidang Pascapanen. Penulis pernah mengikuti kursus Sistem Manajemen Mutu dan Standar Mutu ISO, dan kursus-kursus lain yang berhubungan dengan pascapanen baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini penulis aktif sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jl Tentara Pelajar No. 12 Bogor, Telp (0251)-318619, 321762. Penulis memiliki minat besar dalam melakukan penelitian di bidang Sistem dan Manajemen pascapanen yang terkait langsung dengan mutu produk pertanian yang dihasilkan.

Miskiyah, S.Pt.M.P.
Dilahirkan di Blora pada tanggal 3 Desember 1970. Penulis menyelesaikan pendidikan S2 bidang Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sekarang penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Departemen Pertanian.

Ir. Wisnu Broto
Dilahirkan di Blora, 31 Maret 1956. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1989. Penulis adalah Peneliti Madya bidang Pascapanen. Sekarang penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Departemen Pertanian